[Renungan] Ini Aku, Utuslah Aku

“LALU AKU MENDENGAR SUARA TUHAN BERKATA: “SIAPAKAH YANG AKAN KUUTUS, DAN SIAPAKAH YANG MAU PERGI UNTUK AKU? “MAKA SAHUTKU: “INI AKU, UTUSLAH AKU!” (YESAYA 6:8).

Kemuliaan Tuhan yang menyatakan Diri kepada Yesaya, digambarkan dari sikap para Serafim yang berada di sekitar takhta Allah. “Para Serafim berdiri di sebelah atas-Nya, masing-masing mempunyai enam sayap; dua sayap dipakai untuk menutupi muka mereka, dua sayap dipakai untuk menutupi kaki mereka dan dua sayap dipakai untuk melayang-layang”(Yesaya 6:2).


Serafim

Serafim adalah mahluk surgawi, yang dalam Celestial Hierarchy (tingkatan sorgawi) dipercaya berada pada tingkatan teratas, karena Serafim selalu berada disekitar takhta Allah. Serafim mempunyai enam sayap: empat sayap dipakai untuk menutupi (dua sayap menutupi wajah dan dua sayap menutupi kaki mereka).

Menutupi wajah menggambarkan sikap yang hormat dan takjub. Menutupi kaki atau lebih tepatnya pinggang sampai kaki, menggambarkan sikap yang sadar bahwa dia merasa tidak layak bersanding dengan Sang Pencipta yang Maha Kudus, sikap ini dalam konteks sosial, menunjukkan kesopanan.

Dua sayap dipakai untuk terbang, yang menggambarkan bahwa mereka siap melakukan perintah Tuhan. Selanjutnya di ayat 3 dikatakan: “Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!" Artinya Tuhan itu suci bersih dari noda dosa, dan tidak ada yang menyamai-Nya.

Ketika Yesaya melihat penglihatan itu, dia tiba-tiba menyadari bahwa dia tidak layak dan tidak berdaya dengan ketidaklayakannya berada di hadapan Allah yang Maha Kudus, sampai seorang Serafim mengambil bara api dari mezbah dan menyentuhkan ke bibirnya, maka dia dinyatakan sebagai orang yang “dilayakkan”. Yesaya kemudian mendengar kerinduan Allah, “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” (Yesaya 6:8). Saat itulah Yesaya berinisiatif untuk menjawab kerinduan Tuhan, dengan berkata:“INI AKU, UTUSLAH AKU!”

Dimensi yang terkandung dari respon ini luar biasa, yaitu:

Pertama, ini aku, artinya adalah“Inilah hidupku seutuhnya, dan hidup itu seluruhnya kubawa di hadapan-Mu ya Tuhan”.

Kedua, utuslah aku, artinya “Pakai hidupku untuk menggenapi apa yang menjadi kerinduan hati-Mu Tuhan, apapun resiko yang menghadang, aku siap menghadapinya dan segala beban yang harus ditanggung, aku siap untuk menanggungnya”.


Utuslah Aku

“Ini aku, utuslah aku” adalah sebuah keputusan yang tidak bisa dibuat karena latah (ikut-ikutan) karena harus menjadi keputusan kehidupan, yaitu keseluruhan umur hidup yang masih ada.

Dan ketika Tuhan berkenan atas persembahan hidup itu, maka peran yang Tuhan berikan, ada di dalam hikmat-Nya yang ajaib, jangan pernah mempertanyakannya kembali, mengapa seperti ini, apa maksudnya dan sebagainya (Yesaya 6:9-10).

Yesaya harus memberitakan berita dari Tuhan, tapi bukan untuk membuat bangsa/ umat yang mendengar bertobat, melainkan malah mereka akan mengeraskan hati mereka.

Mengeraskan hati artinya tidak mempercayai, bahkan percaya kepada yang sebaliknya demikian, maka Yesaya harus siap menanggung resikonya, yaitu dia akan dimusuhi oleh bangsanya sendiri, dan bahkan dianiaya.

Pada zaman raja Manasye, Yesaya dipercaya menjadi martir, dibunuh dengan cara dimutilasi dengan gergaji. “Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan” (Ibrani 11:37).

Ketika Yesaya tetap setia kepada panggilan Tuhan, sekalipun harus mati dengan cara mengenaskan, maka Firman Tuhan menggambarkan posisinya dihadapan Allah.

“Dunia ini tidak layak bagi mereka. …………..” (Ibrani 11:38a) yang dimaksud bahwa hamba-hamba Tuhan ini menjadi orang yang kudus dan mulia, dunia terlalu kotor dan hina, tidak layak menerima mereka.

Pasal ini sungguh luar biasa, karena mengajarkan kepada kita arti panggilan Allah yang mulia itu, sehingga setiap orang yang menanggapi panggilan Allah, dibawa masuk kedalam kemuliaan panggilan itu.


(Pdt. Samuel Handoko)

Comments